Sabtu, 25 November 2017

AL-Hakim dan Posisi Mujtahid dalam al-Hakim



 assalamualaikum wr.wb
kali ini depik mau membagikan makalah yang semoga bisa bermanfaat buat kalian semua:)

I.           PENDAHULUAN
Sebagaimana yang diketahui, bahwasanya Al-Hakim (Pembuat Hukum/Allah) merupakan persoalan yang paling mendasar dalam kajian Uṡūl Fikih. Hal ini dikarenakan pembahasan Al-Hakim berkaitan dengan siapa pembuat hukum dalam syari’at Islam. Apakah hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya hanya bersumber dari wahyu atau ada sumber lainya.
Kedudukan Allah sebagai satu-satunya Al-Hakim dalam syari’at Islam adalah hal yang mutlak dan tidak ada perbedaan pendapat dari seluruh umat Islam. Namun, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang bagaimana wahyu bisa sampai ke umat sebelum diutusnya rasul yang menjadi perantara diturunkanya wahyu Allah, dan apakah akal manusia mampu untuk mengetahui syari’at tanpa adanya perantara dari rosul atau tidak.
Penyusunan makalah ini diharapkan mampu menjadi salah satu penyumbang keilmuan seputar Al-Hakim dalam kajian Uṡul Fiqih. Sehingga akan ditemukan pemahaman tentang Al-Hakim secara mendalam.

II.         RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Pengertian dari Pembuat Hukum (Al-Hakim/ Law Giver/ Law Maker)?
B.     Bagaimana Kemampuan Akal Mengetahui Syari’at?
C.     Bagaimana Posisi Mujtahid dalam AL-Hakim / Pembuat Hukum ?

III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pembuat Hukum (Al-Hakim/ Law Giver/Law Maker)
Secara etimologi, Hakim mempunyai dua pengertian[1]:
     الحاكم هو واضح الاحكام ومثبتها ومنشئها ومصدرها(1)
Artinya: hakim adalah pembuat hukum, yang menetapkan hukum, yang memunculkan hukum dan yang membuat sumber hukum.
 الحاكم الذي يدرك الاحكام ويضهرها ويعرفها ويكشفها(2)
Artinya: hakim adalah yang menemukan hukum, yang menetapkan hukum, yang menjelaskan hukum, yang memperkenalkan hukum dan menyingkap hukum.
Arti ini memberikan pemahaman bahwa, pembuat hukum yang menjadi satu-satunya sumber yang wajib ditaati dan diikuti oleh mukallaf adalah Allah. Allah yang menurunkan peraturanya melalui para rasul, baik dalam bentuk wahyu Al-Qur’an maupun dalam bentuk Sunnah.
Tidak ada perselisihan diantara para ulama bahwa yang menjadi sumber hukum bagi perbuatan mukallaf adalah Allah SWT. Baik hukum ini secara jelas terdapat dari nas yang telah diwahyukan, maupun dengan dalil-dalil yang samar sehingga perlu diistinbatkan hukumnya oleh para mujtahid.[2]
Dari pemahaman seperti ini, para ahli Uṡūl Fiqih membuat teori sebagai berikut:[3]
لا حكم الا الله
Artinya: Tidak ada hukum kecuali yang bersumber dari Allah.
Adapun yang menjadi dasar dari munculnya teori tersebut adalah fiman Allah SWT di dalam sūrah al-An’am: 57, al-Maidah: 44,45,49, an-Nisa:59 dan 65.
1.      Sūrah al-An’am: 57
ان الحكم الا لله يقص الحق وهو خير الفاصلين.........
Artinya: ..... Menetapkan hukum itu hanyalah Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.
2.      Sūrah al-Maidah: 44, 45, 49
ومن لم يحكم بما انزل الله فأولئك هم الكفرون
Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir. (Qs. Al-Maidah: 44)
ومن لم يحكم بما انزل الله فأولئك هم الكفرون
Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang dzalim. (Qs. Al-Maidah: 45)

وان احكم بينهم بما انزل الله
Artinya: Dan hendaknya kamu memutuskan perkara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah (Qs. Al-Maidah: 49)
3.      Sūrah an-Nisa: 59 dan 65
Firman Allah tentang keharusan merujuk kepada Al-Qur’an dan hadis apabila terjadi perselisihan pendapat.
فأن تنازعتم في شيئ فردوه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون بالله والرسول ان كنتم تؤمنون باالله واليوم الاخر
Artinya: jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat. (Qs. An-Nisa: 59)

Firman Allah tentang keharusan menggunakan hukum Allah.
فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا فى انفسهم حرجا مما قضيت ويسلمو تسليما
Artinya: Maka demi tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati terhadap putusan yang telah kamu berikan dan mereka menerima sepenuhnya. (Qs. An-Nisa: 65)

B.     Kemampuan Akal Mengetahui Syari’at
Seperti dalam penjelasan sebelumnya, para ulama sepakat bahwa yang menjadi satu-satunya hakim dalam syariat Islam adalah Allah. Ulama hanya berbeda pendapat mengenai diketahuinya atau sampainya hukum Allah  kepada mukallaf sebelum diutusnya rasul. Apakah akal seorang mukallaf yang tidak sampai pada dirinya dakwa seorang rosul dapat mengetahui sendiri tanpa perantaraan rasul Allah dan kitab-kitabNya. Dalam perbedaan pendapat ini terbagi menjadi tiga madzhab, yaitu:
1.      Madzhab Asya’irah
Pendapat yang dikemukakan oleh kaum Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abdul Hasan Al-Asy’ari, berpendapat bahwa hukum-hukum Allah tidak dapat diketahui semata-semata oleh akal.[4] Oleh karena itu, seluruh bentuk perbuatan manusia yang terjadi sebelum diangkatnya utusan-utusan Allah tidak ada hukumnya dan tidak dikenakkan beban hukum atasnya.
Pendapat ini berdasar pada salah satu firman Allah pada sūrah al-Isra’:15
  وما كنا معذبين حتى يبعث رسولا......
Artinya: dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul

Berdasarkan madzhab ini, seorang mukallaf tidak akan dibebani oleh Allah untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkan kecuali telah sampai dakwa rasul kepadanya. Oleh karena itu, seseorang ahlul fatrah[5] tidak akan diberikan pahala dan dosa meskipun mereka mengerjakan sesuatu.
2.      Madzhab Mu’tazilah
Kelompok Mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim saat itu adalah Allah, akan tetapi akal sudah memiliki kemampuan untuk menentukan hukum-hukum Allah tanpa perantara seorang rasul.[6] Maka, seorang mukallaf tetap dibebani dengan pahala kebaikan dan dosa meskipun hidup setelah wafat seorang rasul dan sebelum diutus rasul. Para ahli Uṡūl Fiqih menyebutnya dengan “at-tahsin wa at-taqbih”.
a.       Tahsin (تحسين)
Tahsin adalah semua perilaku atau perbuatan yang dianggap sesuai dengan watak kemanusiaan. Seperti: menolong orang yang sedang ditimpah musibah dan sebagainya.
التحسين هو خطاب الله الطالب للفعل اوالمخير بين الفعل او الترك
Artinya: Firman Allah menuntut supaya dikerjakan atau dipilih antara dikerjakan dan ditinggalkan.

b.      Taqbih (تقبيح)
Taqbih adalah semua perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan watak kemanusiaan, seperti menyakiti orang lain, mencuri dan sebagainya.
التقبيح هو خطاب الله الطالب للترك
Artinya: Firman Allah yang menuntut sesuatu untuk ditinggalkan.
Titik perselisihan dan perbedaan pendapat golongan Asy’ariyah dan Mu’tazilah adalah beban hukum mukallaf terhadap suatu perbuatan sebelum turunya wahyu kepada mukallaf itu sendiri.[7] Apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa tergantung pada perbuatanya meskipun syara’ belum menerangkanya, atau pahala dan siksa tersebut tidak akan berlaku sebelum datang syara’.
3.      Madzhab Maturidiyah
Pendapat madzhab Maturidiyah adalah pendapat yang berada ditengah dari dua pendapat sebelumnya (Asy’ariyah dan Mu’tazilah). Pendapat ini dianggap paling rajih oleh salah satu tokoh Uṡūl Fikih yaitu Frof. Abdul Wahab Khalaf di dalam kitabnya.[8]
Menurut Madzhab ini, perbuatan seorang mukallaf pada hakikatnya mempunyai esensi baik dan buruk. Oleh karena itu, akal dapat menetapkan suatu perbuatan itu termasuk perbuatan baik atau buruk. Dalam hal ini, madzhab Maturidiyah sependapat dengan madzhab mu’tazilah.
Mengenai yang berhubungan dengan beban hukum, kelompok ini berpendapat bahwa akal hanya dapat menetapkan mukallaf harus melakukan perbuatan baik atau meninggalkan perbuatan buruk. Akan tetapi, untuk permasalahan beban hukum (dosa dan pahala), hanya bisa ditentukan oleh wahyu Allah atau dengan cara menghubungkan kepada wahyu yang telah ada menurut cara-cara tertentu. Jadi, meskipun akal berdasarkan pengetahuanya mampu untuk mengetahui mana yang baik dan buruk, maslahat atau mafsadat, namun harus tetap tunduk terhadap wahyu. Hal ini dikarenakan bahwa semua perbuatan hukum yang dilakukan mukallaf hanya dapat dinilai dengan wahyu, baik secara langsung maupun tidak.[9]
C.    Posisi Mujtahid dalam Al-Hakim(Pembuat Hukum/ Law Giver)
1.      Pengertian Mujtahid dan Syarat-Syaratnya
Mujtahid mempunyai arti orang yang berjuang, kata jamaknya Mujtahiddun yang artinya para pendiri madzab hukum Islam dan sejumlah tokoh besar madzab hukum Islam.[10]
Kata Mujtahid di dalam kitab Uṡūl Fiqh adalah orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengeluarkan suatu hukum.[11] Orang yang dimaksud di dalam pengertian adalah para ulama yang memiliki kemampuan untuk mengistinbatkan hukum syara’. Para mujtahid ini akan menyimpulkan hukum suatu persoalan yang muncul berdasarkan sumber dan dalil yang dapat dipertanggung jawabkan. Dikarenakan tugasnya yang cukup berat, maka kewajiban berijtihad ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Setidaknya ada tiga pokok syarat yang harus terpenuhi:[12]
a.       Syarat umum:
syarat kepribadian dari dalam diri ulama tersebut. syarat kepribadian ini secara umum adalah dewasa dan sehat akalnya. Secara khusus adalah beriman kepada Allah, meyakini bahwa hukum yang akan dipahamiya adalah hukum Allah serta meyakini bahwa Al-Qur’an yang menjadi sumber adalah benar dari Allah, dan demikian pula yang berkenaan dengan Nabi.
b.      Syarat kepahaman dan kemampuan:
syarat ini menjadi syarat pokok dan syarat penting bagi seorang mujtahid, karena kepahaman dan kemampuan ini yang menjadi alat untuk mengistinbatkan hukum. Adapun yang termasuk dalam syarat-syarat ini adalah, kemampuan dalam bahasa arab sebagai ilmu alat, kemampuan dalam memahami Al-Qur’an dari segala segi, kemampuan dalam memahami sunnah nabi dari segala segi, pengetahuan tentang ijma’ dan pendapat ulama yang berkembang, kemampuan dalam menggunakan qiyas, kemampuan memahami tujuan Allah dalam menetapkan hukum serta pemahaman tentang Uṡūl fiqh.
c.       Syarat kesempurnaan:
Syarat ini ditambahkan sebagai bagian dari ahli Uṡūl fiqh. Syarat ini meliputi, pengetahuan tentang furu’ fiqh, pengetahuan tentang ilmu manṭiq, pengetahuan tentang Ushuluddin, serta pengetahuan tentang ilmu-ilmu kemasyarakatan.
2.      Posisi Mujtahid dalam Al-Hakim
Pada hakikatnya, tidak ada suatu perbuatan manusia yang tidak ada hukumnya, karena segala sesuatu telah ditetapkan hukumya oleh Allah melalui Al-Qur’an dan Hadis rasulNya. Hanya saja, hukum yang ditetapkan Allah itu tidak semua bersifat jelas dan nyata. Terkadang hukum yang ada dalam suatu dalil masih bersifat samar dan tersembunyi bagi manusia. Untuk menemukan hukum yang tersembunyi itu, diperlukan ijtihad para mujtahid untuk menggali istinbat hukum melalui alat-alat ijtihad, seperti, qiyas, ijma’ Istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya.
Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa peran dan posisi mujtahid dalam pembuat hukum (Al-Hakim, Law Giver, Law Maker), bukan menciptakan dan menetapkan hukum secara mandiri. Mujtahid yang berijtihad berperan membuat nyata dan terang hukum-hukum Allah yang tersembunyi.[13] Oleh karena itu, peran mujtahid dalam menggali dan menemukan hukum Islam yang tersembunyi disebut al-Muzhhir li al-Hukm.[14]
D.    Kesimpulan
1.      Al-Hakim dalam Uṡūl Fiqih adalah pembuat hukum, menetapkan hukum, memunculkan hukum dan menerangkan hukum. Atas dasar bahwa hukum syara’ adalah kehendak Allah atas tingkah laku manusia, maka dapat dikatakan dan tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, bahwa pembuat hukum satu-satunya adalah Allah SWT melalui wahyu yang diturunkanya dengan perantara seorang rasul.
2.      Timbulnya perbedaan dalam pembahasan Al-Hakim ketika belum diutusnya seorang rasul yang menjadi perantara wahyu, bukan soal siapa Al-Hakim. Akan tetapi perbedaan pandangan ini meliputi persoalan bagaimana umat mengetahui wahyu tanpa perantara rasul dan konsekuensi atau beban hukum seorang mukallaf itu sendiri. Secara ringkasnya, perbedaan ada di madzhab mu’tazilah yang menganggap akal mukallaf mampu untuk mengetahui perbuatan baik dan buruk sehingga beban hukum melekat kepada mukallaf, sedangkan madzhab asya’irah berpahaman secara sebaliknya. Madzhab Maturidiyah berpendapat bahwa akal mukallaf dengan pengetahuanya mampu dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, untuk masalah beban hukum mukallaf tidak serta merta hanya dinilai dengan akal, melainkan harus tunduk kepada wahyu.
3.      Posisi mujtahid di dalam Al-Hakim atau pembuat hukum, bukan menciptakan dan menetapkan hukum secara mandiri, akan tetapi mujtahid sebagai al-Muzhhir li al-hukm, yaitu sebagai penggali dan penemu hukum Allah yang tersembunyi di dalam wahyunya baik al-Quran maupun hadis rasulnya. Sehingga peran mujtahid adalah menampakkan hukum Allah yang samar dengan menggunakan alat-alat ijtihad
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan. Abd, Rahman, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011
Khallaf. Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
Jumantoro. Totok, Kamus Ilmu Uṡūl Fikih, tt: AMZA, 2005.
Muchtar. Kamal, Ushul Fiqh, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Saebani. Beni Ahmad, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka setia, 2008
Shidiq. Sapiudin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2011.
Sodiqin. Ali Dkk, Fiqih Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014
Syarifuddin Amir, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012.
Syarifuddin. H.Amir, Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Zein, M.Ma’shum, Menguasai Ilmu Uṡul Fiqh: Apa dan Bagaimana Hukum Islam Disarikan dari Sumber-sumbernya, Yogyakarta: Lkis, 2013.




[1] Jumantoro. Totok, Kamus Ilmu Uṡūl Fikih, (tt: AMZA, 2005), hlm.,76

[2] Shidiq. Sapiudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), Hlm., 142

[3] Zein, M.Ma’shum, Menguasai Ilmu Uṡul Fiqh: Apa dan Bagaimana Hukum Islam Disarikan dari Sumber-sumbernya, (Yogyakarta: Lkis, 2013), Hlm.,224
[4] Saebani. Beni Ahmad, Ilmu Ushul Fiqh, ( Bandung: Pustaka setia, 2008), hlm., 270.

[5] Ahlul fatrah adalah mereka yang hidup sesudah wafatnya rasul dan sebelum rasul lain diutus

[6] Zein, M.Ma’shum, Menguasai Ilmu Uṡul Fiqh: Apa dan Bagaimana Hukum Islam Disarikan dari Sumber-sumbernya, (Yogyakarta: Lkis, 2013), Hlm.,227

[7] Muchtar. Kamal, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm., 27.

[8] Khallaf. Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm.,141

[9] Syarifuddin. H.Amir, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.,349-350.

[10] mantoro. Totok, Kamus Ilmu Uṡūl Fikih, hlm.,220.

[11] Sodiqin. Ali Dkk, Fiqih Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia, ( Yogyakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), hlm., 94.

[12] Syarifuddin. Amir, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012), hlm.,154.
[13] Dahlan. Abd, Rahman, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm.,88-89.

[14] Al-Muzhhir li al-hukm ialah pihak yang menerangkan atau menjelaskan hukum.