assalamualaikum wr.wb
kali ini depik mau membagikan makalah yang semoga bisa bermanfaat buat kalian semua:)
I.
PENDAHULUAN
Sebagaimana yang diketahui, bahwasanya Al-Hakim (Pembuat Hukum/Allah)
merupakan persoalan yang paling mendasar dalam kajian Uṡūl Fikih. Hal
ini dikarenakan pembahasan Al-Hakim berkaitan dengan siapa pembuat hukum dalam
syari’at Islam. Apakah hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan
dosa bagi pelanggarnya hanya bersumber dari wahyu atau ada sumber lainya.
Kedudukan Allah sebagai satu-satunya Al-Hakim dalam syari’at Islam adalah
hal yang mutlak dan tidak ada perbedaan pendapat dari seluruh umat Islam.
Namun, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang bagaimana wahyu
bisa sampai ke umat sebelum diutusnya rasul yang menjadi perantara diturunkanya
wahyu Allah, dan apakah akal manusia mampu untuk mengetahui syari’at tanpa
adanya perantara dari rosul atau tidak.
Penyusunan makalah ini diharapkan mampu menjadi salah satu penyumbang
keilmuan seputar Al-Hakim dalam kajian Uṡul Fiqih. Sehingga akan
ditemukan pemahaman tentang Al-Hakim secara mendalam.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Apa Pengertian
dari Pembuat Hukum (Al-Hakim/ Law Giver/ Law Maker)?
B. Bagaimana
Kemampuan Akal Mengetahui Syari’at?
C. Bagaimana
Posisi Mujtahid dalam AL-Hakim / Pembuat Hukum ?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembuat
Hukum (Al-Hakim/ Law Giver/Law Maker)
Secara
etimologi, Hakim mempunyai dua pengertian[1]:
الحاكم هو واضح الاحكام ومثبتها ومنشئها ومصدرها(1)
Artinya: hakim
adalah pembuat hukum, yang menetapkan hukum, yang memunculkan hukum dan yang
membuat sumber hukum.
الحاكم الذي يدرك
الاحكام ويضهرها ويعرفها ويكشفها(2)
Artinya: hakim
adalah yang menemukan hukum, yang menetapkan hukum, yang menjelaskan hukum,
yang memperkenalkan hukum dan menyingkap hukum.
Arti ini
memberikan pemahaman bahwa, pembuat hukum yang menjadi satu-satunya sumber yang
wajib ditaati dan diikuti oleh mukallaf adalah Allah. Allah yang menurunkan
peraturanya melalui para rasul, baik dalam bentuk wahyu Al-Qur’an maupun dalam
bentuk Sunnah.
Tidak ada
perselisihan diantara para ulama bahwa yang menjadi sumber hukum bagi perbuatan
mukallaf adalah Allah SWT. Baik hukum ini secara jelas terdapat dari nas yang
telah diwahyukan, maupun dengan dalil-dalil yang samar sehingga perlu
diistinbatkan hukumnya oleh para mujtahid.[2]
Dari pemahaman
seperti ini, para ahli Uṡūl Fiqih membuat teori sebagai berikut:[3]
لا حكم الا الله
Artinya: Tidak ada hukum kecuali yang bersumber dari Allah.
Adapun yang
menjadi dasar dari munculnya teori tersebut adalah fiman Allah SWT di dalam
sūrah al-An’am: 57, al-Maidah: 44,45,49, an-Nisa:59 dan 65.
1. Sūrah al-An’am:
57
ان الحكم الا لله يقص الحق وهو خير الفاصلين.........
Artinya: ..... Menetapkan
hukum itu hanyalah Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi
keputusan yang paling baik.
2. Sūrah
al-Maidah: 44, 45, 49
ومن لم يحكم بما انزل الله فأولئك هم الكفرون
Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang
kafir. (Qs. Al-Maidah: 44)
ومن لم يحكم بما انزل الله فأولئك هم الكفرون
Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang dzalim.
(Qs. Al-Maidah: 45)
وان احكم بينهم بما انزل الله
Artinya: Dan hendaknya kamu memutuskan perkara
mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah (Qs. Al-Maidah: 49)
3. Sūrah an-Nisa:
59 dan 65
Firman Allah tentang keharusan merujuk kepada
Al-Qur’an dan hadis apabila terjadi perselisihan pendapat.
فأن تنازعتم في شيئ فردوه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون بالله والرسول ان
كنتم تؤمنون باالله واليوم الاخر
Artinya: jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, jika kamu beriman kepada
Allah dan hari kiamat. (Qs. An-Nisa: 59)
Firman Allah tentang keharusan menggunakan
hukum Allah.
فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا فى انفسهم حرجا مما
قضيت ويسلمو تسليما
Artinya: Maka demi tuhanmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati terhadap putusan
yang telah kamu berikan dan mereka menerima sepenuhnya. (Qs. An-Nisa: 65)
B. Kemampuan Akal
Mengetahui Syari’at
Seperti dalam
penjelasan sebelumnya, para ulama sepakat bahwa yang menjadi satu-satunya hakim
dalam syariat Islam adalah Allah. Ulama hanya berbeda pendapat mengenai
diketahuinya atau sampainya hukum Allah
kepada mukallaf sebelum diutusnya rasul. Apakah akal seorang mukallaf
yang tidak sampai pada dirinya dakwa seorang rosul dapat mengetahui sendiri
tanpa perantaraan rasul Allah dan kitab-kitabNya. Dalam perbedaan pendapat ini
terbagi menjadi tiga madzhab, yaitu:
1. Madzhab
Asya’irah
Pendapat yang
dikemukakan oleh kaum Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abdul Hasan Al-Asy’ari,
berpendapat bahwa hukum-hukum Allah tidak dapat diketahui semata-semata oleh
akal.[4]
Oleh karena itu, seluruh bentuk perbuatan manusia yang terjadi sebelum
diangkatnya utusan-utusan Allah tidak ada hukumnya dan tidak dikenakkan beban
hukum atasnya.
Pendapat ini berdasar pada salah satu firman
Allah pada sūrah al-Isra’:15
وما كنا معذبين حتى يبعث رسولا......
Artinya: dan kami tidak akan mengazab sebelum
kami mengutus seorang rasul
Berdasarkan madzhab ini, seorang mukallaf
tidak akan dibebani oleh Allah untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkan
kecuali telah sampai dakwa rasul kepadanya. Oleh karena itu, seseorang ahlul
fatrah[5]
tidak akan diberikan pahala dan dosa meskipun mereka mengerjakan sesuatu.
2. Madzhab
Mu’tazilah
Kelompok
Mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim saat itu adalah Allah, akan
tetapi akal sudah memiliki kemampuan untuk menentukan hukum-hukum Allah tanpa perantara
seorang rasul.[6]
Maka, seorang mukallaf tetap dibebani dengan pahala kebaikan dan dosa meskipun
hidup setelah wafat seorang rasul dan sebelum diutus rasul. Para ahli Uṡūl
Fiqih menyebutnya dengan “at-tahsin wa at-taqbih”.
a. Tahsin (تحسين)
Tahsin adalah semua perilaku atau perbuatan yang dianggap sesuai dengan watak
kemanusiaan. Seperti: menolong orang yang sedang ditimpah musibah dan
sebagainya.
التحسين هو خطاب الله الطالب للفعل اوالمخير بين
الفعل او الترك
Artinya: Firman Allah menuntut supaya dikerjakan atau
dipilih antara dikerjakan dan ditinggalkan.
b. Taqbih (تقبيح)
Taqbih adalah semua perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan watak kemanusiaan,
seperti menyakiti orang lain, mencuri dan sebagainya.
التقبيح هو خطاب الله الطالب للترك
Artinya: Firman Allah yang menuntut sesuatu untuk ditinggalkan.
Titik perselisihan dan perbedaan pendapat golongan Asy’ariyah dan
Mu’tazilah adalah beban hukum mukallaf terhadap suatu perbuatan sebelum turunya
wahyu kepada mukallaf itu sendiri.[7]
Apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa tergantung pada
perbuatanya meskipun syara’ belum menerangkanya, atau pahala dan siksa tersebut
tidak akan berlaku sebelum datang syara’.
3. Madzhab
Maturidiyah
Pendapat madzhab Maturidiyah adalah pendapat yang berada ditengah dari dua
pendapat sebelumnya (Asy’ariyah dan Mu’tazilah). Pendapat ini dianggap paling rajih
oleh salah satu tokoh Uṡūl Fikih yaitu Frof. Abdul Wahab Khalaf di dalam
kitabnya.[8]
Menurut Madzhab ini, perbuatan seorang mukallaf pada hakikatnya mempunyai
esensi baik dan buruk. Oleh karena itu, akal dapat menetapkan suatu perbuatan
itu termasuk perbuatan baik atau buruk. Dalam hal ini, madzhab Maturidiyah
sependapat dengan madzhab mu’tazilah.
Mengenai yang berhubungan dengan beban hukum, kelompok ini berpendapat
bahwa akal hanya dapat menetapkan mukallaf harus melakukan perbuatan baik atau
meninggalkan perbuatan buruk. Akan tetapi, untuk permasalahan beban hukum (dosa
dan pahala), hanya bisa ditentukan oleh wahyu Allah atau dengan cara menghubungkan
kepada wahyu yang telah ada menurut cara-cara tertentu. Jadi, meskipun akal
berdasarkan pengetahuanya mampu untuk mengetahui mana yang baik dan buruk,
maslahat atau mafsadat, namun harus tetap tunduk terhadap wahyu. Hal ini
dikarenakan bahwa semua perbuatan hukum yang dilakukan mukallaf hanya dapat
dinilai dengan wahyu, baik secara langsung maupun tidak.[9]
C. Posisi Mujtahid dalam Al-Hakim(Pembuat Hukum/ Law
Giver)
1. Pengertian
Mujtahid dan Syarat-Syaratnya
Mujtahid mempunyai arti
orang yang berjuang, kata jamaknya Mujtahiddun yang artinya para pendiri
madzab hukum Islam dan sejumlah tokoh besar madzab hukum Islam.[10]
Kata Mujtahid di dalam kitab Uṡūl Fiqh adalah orang yang berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk mengeluarkan suatu hukum.[11]
Orang yang dimaksud di dalam pengertian adalah para ulama yang memiliki
kemampuan untuk mengistinbatkan hukum syara’. Para mujtahid ini akan
menyimpulkan hukum suatu persoalan yang muncul berdasarkan sumber dan dalil
yang dapat dipertanggung jawabkan. Dikarenakan tugasnya yang cukup berat, maka
kewajiban berijtihad ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Setidaknya
ada tiga pokok syarat yang harus terpenuhi:[12]
a. Syarat umum:
syarat kepribadian dari dalam diri ulama
tersebut. syarat kepribadian ini secara umum adalah dewasa dan sehat akalnya.
Secara khusus adalah beriman kepada Allah, meyakini bahwa hukum yang akan
dipahamiya adalah hukum Allah serta meyakini bahwa Al-Qur’an yang menjadi
sumber adalah benar dari Allah, dan demikian pula yang berkenaan dengan Nabi.
b. Syarat
kepahaman dan kemampuan:
syarat ini menjadi syarat pokok dan syarat
penting bagi seorang mujtahid, karena kepahaman dan kemampuan ini yang menjadi
alat untuk mengistinbatkan hukum. Adapun yang termasuk dalam syarat-syarat ini
adalah, kemampuan dalam bahasa arab sebagai ilmu alat, kemampuan dalam memahami
Al-Qur’an dari segala segi, kemampuan dalam memahami sunnah nabi dari segala
segi, pengetahuan tentang ijma’ dan pendapat ulama yang berkembang, kemampuan
dalam menggunakan qiyas, kemampuan memahami tujuan Allah dalam
menetapkan hukum serta pemahaman tentang Uṡūl fiqh.
c. Syarat
kesempurnaan:
Syarat ini ditambahkan sebagai bagian dari
ahli Uṡūl fiqh. Syarat ini meliputi, pengetahuan tentang furu’ fiqh,
pengetahuan tentang ilmu manṭiq, pengetahuan tentang Ushuluddin, serta
pengetahuan tentang ilmu-ilmu kemasyarakatan.
2. Posisi Mujtahid
dalam Al-Hakim
Pada
hakikatnya, tidak ada suatu perbuatan manusia yang tidak ada hukumnya, karena
segala sesuatu telah ditetapkan hukumya oleh Allah melalui Al-Qur’an dan Hadis
rasulNya. Hanya saja, hukum yang ditetapkan Allah itu tidak semua bersifat
jelas dan nyata. Terkadang hukum yang ada dalam suatu dalil masih bersifat
samar dan tersembunyi bagi manusia. Untuk menemukan hukum yang tersembunyi itu,
diperlukan ijtihad para mujtahid untuk menggali istinbat hukum melalui
alat-alat ijtihad, seperti, qiyas, ijma’ Istihsan, maslahah mursalah dan lain
sebagainya.
Dari penjelasan
ini, dapat disimpulkan bahwa peran dan posisi mujtahid dalam pembuat hukum (Al-Hakim,
Law Giver, Law Maker), bukan menciptakan dan menetapkan hukum secara
mandiri. Mujtahid yang berijtihad berperan membuat nyata dan terang hukum-hukum
Allah yang tersembunyi.[13]
Oleh karena itu, peran mujtahid dalam menggali dan menemukan hukum Islam yang
tersembunyi disebut al-Muzhhir li al-Hukm.[14]
D. Kesimpulan
1. Al-Hakim dalam
Uṡūl Fiqih adalah pembuat hukum, menetapkan hukum, memunculkan hukum dan
menerangkan hukum. Atas dasar bahwa hukum syara’ adalah kehendak Allah atas
tingkah laku manusia, maka dapat dikatakan dan tidak ada perbedaan pendapat di
dalamnya, bahwa pembuat hukum satu-satunya adalah Allah SWT melalui wahyu yang
diturunkanya dengan perantara seorang rasul.
2. Timbulnya perbedaan
dalam pembahasan Al-Hakim ketika belum diutusnya seorang rasul yang menjadi
perantara wahyu, bukan soal siapa Al-Hakim. Akan tetapi perbedaan pandangan ini
meliputi persoalan bagaimana umat mengetahui wahyu tanpa perantara rasul dan
konsekuensi atau beban hukum seorang mukallaf itu sendiri. Secara ringkasnya,
perbedaan ada di madzhab mu’tazilah yang menganggap akal mukallaf mampu untuk
mengetahui perbuatan baik dan buruk sehingga beban hukum melekat kepada
mukallaf, sedangkan madzhab asya’irah berpahaman secara sebaliknya. Madzhab
Maturidiyah berpendapat bahwa akal mukallaf dengan pengetahuanya mampu dan
dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, untuk masalah
beban hukum mukallaf tidak serta merta hanya dinilai dengan akal, melainkan
harus tunduk kepada wahyu.
3. Posisi mujtahid
di dalam Al-Hakim atau pembuat hukum, bukan menciptakan dan menetapkan hukum
secara mandiri, akan tetapi mujtahid sebagai al-Muzhhir li al-hukm,
yaitu sebagai penggali dan penemu hukum Allah yang tersembunyi di dalam
wahyunya baik al-Quran maupun hadis rasulnya. Sehingga peran mujtahid adalah
menampakkan hukum Allah yang samar dengan menggunakan alat-alat ijtihad
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan. Abd,
Rahman, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011
Khallaf. Abdul
Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
Jumantoro.
Totok, Kamus Ilmu Uṡūl Fikih, tt: AMZA, 2005.
Muchtar. Kamal,
Ushul Fiqh, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Saebani. Beni Ahmad, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka setia, 2008
Shidiq.
Sapiudin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2011.
Sodiqin. Ali
Dkk, Fiqih Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia,
Yogyakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014
Syarifuddin Amir,
Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012.
Syarifuddin.
H.Amir, Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Zein, M.Ma’shum, Menguasai Ilmu Uṡul Fiqh: Apa
dan Bagaimana Hukum Islam Disarikan dari Sumber-sumbernya, Yogyakarta: Lkis,
2013.
[2] Shidiq. Sapiudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011),
Hlm., 142
[3] Zein, M.Ma’shum, Menguasai Ilmu Uṡul Fiqh: Apa dan Bagaimana Hukum Islam
Disarikan dari Sumber-sumbernya, (Yogyakarta: Lkis, 2013), Hlm.,224
[6] Zein, M.Ma’shum, Menguasai Ilmu Uṡul Fiqh: Apa dan Bagaimana Hukum Islam
Disarikan dari Sumber-sumbernya, (Yogyakarta: Lkis, 2013), Hlm.,227
[7] Muchtar. Kamal, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1995),
hlm., 27.
[8] Khallaf. Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994),
hlm.,141
[9] Syarifuddin. H.Amir, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), hlm.,349-350.
[11] Sodiqin. Ali Dkk, Fiqih Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan
Implementasinya di Indonesia, ( Yogyakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), hlm., 94.
[12] Syarifuddin. Amir, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2012), hlm.,154.
[13] Dahlan. Abd, Rahman, Ushul Fiqh,
(Jakarta: Amzah, 2011), hlm.,88-89.
[14] Al-Muzhhir li al-hukm ialah pihak yang menerangkan atau menjelaskan hukum.