NIKAH BEDA AGAMA
Surat Al-Baqarah ayat 221 dijadikan dasar utama dalam mengkontruksi
ketentuan larangan nikah lintas agama. Pada dasarnya, didalam kitab fiqih (al-fiqh
‘ala al Madzahib al-arba’ah karya Abdurrahman Al-Jaziri, Bidayah Al-Mujtahid
karya Ibnu Rusyd dan Fiqh Sunnah karya as-sayyid Sabiq) mengharamkan perkawinan
antara muslim dengan nonmuslim. Hanya saja ada pengecualian akibat ketentuan
khusus dari surat Al-Maidah ayat lima yang membuat pergeseran tingkat hukum,
dari haram menjadi makruh, mubah dan lainya pada kasus laki-laki muslim
menikahi perempuan ahli kitab.
Pada dasarnya laki-laki muslim dihalalkan menikahi perempuan ahli
kitab seperti yang telah dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat lima. Dalam hal
ini 4 fuqaha madzhab sunni berbeda pandangan tentang tingkat hukum perkawinan
tersebut. Madzhab Hambali merupakan satu-satunya yang menghalalkan pernikahan
antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab karena ketentuan didalam surat
Al-Maidah ayat lima, sedangkan tiga fuqaha sunni lainya seperti Maliki, Syafi’I
dan Hanafi memakruhkan pernikahan tersebut.
Di Indonesia, pernikahan beda agama belum diatur secara jelas di
dalam peraturan perundang-undangan, tetapi tidak dapat dipungkiri jika praktik
nikah beda agama juga banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia, bahkan dari
kalangan publik figure seperti Chelsea Olivia, Lidia Kandau, Nia Zulkarnaen dan
masih banyak lagi. Hal ini dikarenakan tidak ada larangan secara tegas tentang
pernikahan beda agama, tetapi juga tidak ada undang-undang yang melegalkan
adanya pernikahan beda agama. Kekosongan hukum ini perimplikasi pada banyaknya
hambatan yang terjadi pada pasangan yang akan melakukan pernikahan beda agama.
Di dalam praktiknya, mereka yang ingin melakukan pernikahan beda
agama mempunyai cara-cara tersendiri untuk melakukanya, seperti: menikah diluar
negeri, perkawinanya hanya dilakukan di catatan sipil, salah satu pasangan
menundukkan diri kepada agama pasanganya dan dengan cara salah satu dari
pasangan beralih agama mengikuti agama pasangan. Cara-cara ini adalah solusi
yang dicari dan dilakukan oleh pelaku pernikahan beda agama itu sendiri.
Guru besar sekaligus mantan Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Prof.M.Amin Suma mengatakan bahwa
pernikahan beda agama hanya sebagai pintu darurat. Menurut beliau, nikah beda agama
tidak bisa dikatakan haram. Berangkat dari analisa beliau tentang rukun nikah, dimana
telah disepakati oleh seluruh ulama adalah ijab qabul yang dilakukan oleh kedua
mempelai. Dilanjutkan tentang syarat sah nikah baik dari prespektif fikih atau
prespektif Kompilasi Hukum Islam dimana tidak ada hitam putih yang mengatakan
bahwa syarat sah nikah itu harus sama agama. Menurut beliau, keharusan kesamaan
agama di dalam pernikahan ini masuk didalam kajian kafa’ah, yaitu kafa’ah
fiddin (kesamaan agama), tetapi hal ini tidak dimasukkan dalam rukun maupun
syarat sah nikah. Atas dasar tersebut beliau berpendapat bahwa pernikahan beda
agama tidak serta merta di haramkan juga dibolehkan, tetapi masuk dalam pintu
darurat tergantung kondisi. Seperti halnya bangkai yang haram boleh dimakan
jika dalam keadaan darurat.
Menurut hemat saya, pengecualian kebolehan nikah beda agama dengan
ahli kitab yang dijelaskan didalam surah al-Maidah jika direlevansikan dizaman
sekarang tentu sangat sulit, karena ahli kitab dizaman Nabi Muhammad SAW dengan
zaman sekarang mungkin sangat berbeda. Maka sebisa mungkin praktik nikah beda
agama ini tidak dilakukan, karena akan berdampak juga pada keharmonisan
keluarga.
Menanggapi dari pendapat yang terhormat prof. M. Amin Suma tentang
pernikahan beda agama yang ada kemungkinan dibolehkan dalam keadaan tertentu karena
tidak termasuk di dalam rukun maupun didalam syarat sah pernikahan, Penulis
lebih melihat tentang dampak yang akan ditimbulkan oleh pernikahn beda agama
itu sendiri. Dampak tersebut tidak hanya tentang keharmonisan keluarga dan psikologi
anak, dimana tujuan dari pernikahan adalah membentuk keluarga yang sakinah. Di
Indonesia, dampak tersebut juga akan menyangkut kepada ketidaktentuan hukum,
salah satunya tentang pencatatan perkawinan dimana untuk umat Islam khusus
dicatatkan di KUA dan untuk selain Islam di Kantor Catatan Sipil.
Melihat dampak-dampak yang akan ditimbulkan oleh pernikahan beda
agama khususnya yang dilakukan oleh warga negara Indonesia, baik dampak hukum
yang ditimbulkan serta dalam hal perkembangan keharmonisan keluarga maka
alangkah baiknya jika pernikahan beda agama itu ditinggalkan karena mengandung
unsur kerusakan. seperti dalam kaidah fikih:
درءالمفاسد اولى من مقدم على جلب المصا لح
Apabila di dalam suatu perkara terdapat
manfaat atau maslahat dan juga terdapat kerusakan maka didahulukan
menghilangkan manfaat karena kerusakan dapat menjalar dan meluas sehingga
menyebabkan bahaya kerusakan yang lebih besar.
Inilah sedikit uraian dari pendapat dari penulis tentang pernikahan
beda agama, jika ada kesalahan atau perbedaan presepsi sesungguhnya hanya allah
yang maha mengetahui dan penulis sebagai hambahnya hanya berusaha untuk
berfikir. Wallahu A’lam Bishawab…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar