Selasa, 17 Januari 2017

nikah beda agama dalam prespektif Normativ dan Yuridis



NIKAH BEDA AGAMA
Surat Al-Baqarah ayat 221 dijadikan dasar utama dalam mengkontruksi ketentuan larangan nikah lintas agama. Pada dasarnya, didalam kitab fiqih (al-fiqh ‘ala al Madzahib al-arba’ah karya Abdurrahman Al-Jaziri, Bidayah Al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd dan Fiqh Sunnah karya as-sayyid Sabiq) mengharamkan perkawinan antara muslim dengan nonmuslim. Hanya saja ada pengecualian akibat ketentuan khusus dari surat Al-Maidah ayat lima yang membuat pergeseran tingkat hukum, dari haram menjadi makruh, mubah dan lainya pada kasus laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab.
Pada dasarnya laki-laki muslim dihalalkan menikahi perempuan ahli kitab seperti yang telah dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat lima. Dalam hal ini 4 fuqaha madzhab sunni berbeda pandangan tentang tingkat hukum perkawinan tersebut. Madzhab Hambali merupakan satu-satunya yang menghalalkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab karena ketentuan didalam surat Al-Maidah ayat lima, sedangkan tiga fuqaha sunni lainya seperti Maliki, Syafi’I dan Hanafi memakruhkan pernikahan tersebut.
Di Indonesia, pernikahan beda agama belum diatur secara jelas di dalam peraturan perundang-undangan, tetapi tidak dapat dipungkiri jika praktik nikah beda agama juga banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia, bahkan dari kalangan publik figure seperti Chelsea Olivia, Lidia Kandau, Nia Zulkarnaen dan masih banyak lagi. Hal ini dikarenakan tidak ada larangan secara tegas tentang pernikahan beda agama, tetapi juga tidak ada undang-undang yang melegalkan adanya pernikahan beda agama. Kekosongan hukum ini perimplikasi pada banyaknya hambatan yang terjadi pada pasangan yang akan melakukan pernikahan beda agama.
Di dalam praktiknya, mereka yang ingin melakukan pernikahan beda agama mempunyai cara-cara tersendiri untuk melakukanya, seperti: menikah diluar negeri, perkawinanya hanya dilakukan di catatan sipil, salah satu pasangan menundukkan diri kepada agama pasanganya dan dengan cara salah satu dari pasangan beralih agama mengikuti agama pasangan. Cara-cara ini adalah solusi yang dicari dan dilakukan oleh pelaku pernikahan beda agama itu sendiri.
Guru besar sekaligus mantan Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Prof.M.Amin Suma mengatakan bahwa pernikahan beda agama hanya sebagai pintu darurat. Menurut beliau, nikah beda agama tidak bisa dikatakan haram. Berangkat dari analisa beliau tentang rukun nikah, dimana telah disepakati oleh seluruh ulama adalah ijab qabul yang dilakukan oleh kedua mempelai. Dilanjutkan tentang syarat sah nikah baik dari prespektif fikih atau prespektif Kompilasi Hukum Islam dimana tidak ada hitam putih yang mengatakan bahwa syarat sah nikah itu harus sama agama. Menurut beliau, keharusan kesamaan agama di dalam pernikahan ini masuk didalam kajian kafa’ah, yaitu kafa’ah fiddin (kesamaan agama), tetapi hal ini tidak dimasukkan dalam rukun maupun syarat sah nikah. Atas dasar tersebut beliau berpendapat bahwa pernikahan beda agama tidak serta merta di haramkan juga dibolehkan, tetapi masuk dalam pintu darurat tergantung kondisi. Seperti halnya bangkai yang haram boleh dimakan jika dalam keadaan darurat.
Menurut hemat saya, pengecualian kebolehan nikah beda agama dengan ahli kitab yang dijelaskan didalam surah al-Maidah jika direlevansikan dizaman sekarang tentu sangat sulit, karena ahli kitab dizaman Nabi Muhammad SAW dengan zaman sekarang mungkin sangat berbeda. Maka sebisa mungkin praktik nikah beda agama ini tidak dilakukan, karena akan berdampak juga pada keharmonisan keluarga.
Menanggapi dari pendapat yang terhormat prof. M. Amin Suma tentang pernikahan beda agama yang ada kemungkinan dibolehkan dalam keadaan tertentu karena tidak termasuk di dalam rukun maupun didalam syarat sah pernikahan, Penulis lebih melihat tentang dampak yang akan ditimbulkan oleh pernikahn beda agama itu sendiri. Dampak tersebut tidak hanya tentang keharmonisan keluarga dan psikologi anak, dimana tujuan dari pernikahan adalah membentuk keluarga yang sakinah. Di Indonesia, dampak tersebut juga akan menyangkut kepada ketidaktentuan hukum, salah satunya tentang pencatatan perkawinan dimana untuk umat Islam khusus dicatatkan di KUA dan untuk selain Islam di Kantor Catatan Sipil.
Melihat dampak-dampak yang akan ditimbulkan oleh pernikahan beda agama khususnya yang dilakukan oleh warga negara Indonesia, baik dampak hukum yang ditimbulkan serta dalam hal perkembangan keharmonisan keluarga maka alangkah baiknya jika pernikahan beda agama itu ditinggalkan karena mengandung unsur kerusakan. seperti dalam kaidah fikih:
درءالمفاسد اولى من مقدم على جلب المصا لح
Apabila di dalam suatu perkara terdapat manfaat atau maslahat dan juga terdapat kerusakan maka didahulukan menghilangkan manfaat karena kerusakan dapat menjalar dan meluas sehingga menyebabkan bahaya kerusakan yang lebih besar.
Inilah sedikit uraian dari pendapat dari penulis tentang pernikahan beda agama, jika ada kesalahan atau perbedaan presepsi sesungguhnya hanya allah yang maha mengetahui dan penulis sebagai hambahnya hanya berusaha untuk berfikir. Wallahu A’lam Bishawab…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar